Lahir, Bandar Lampung, Sekolah dan nyantri di Pesantren, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Sekarang Aktif Berkaligrafi dan menulis Puisi.
Sejarah Resolusi Konflik, Melampaui Agitasi Politik
Minggu, 2 Maret 2025 08:55 WIB
Praktik resolusi konflik dapat ditelusuri kembali ke peradaban awal manusia. Di Mesopotamia kuno, para penguasa sering bertindak sebagai media
Resolusi konflik telah menjadi komponen penting dalam berbagai aspek kehidupan manusia sejak dulu kala. Dalam dunia yang semakin terpolarisasi secara politik, pemahaman mendalam tentang sejarah, teori, dan praktik resolusi konflik menjadi sangat relevan.
Artikel ini menguraikan evolusi konsep resolusi konflik sepanjang sejarah dan menganalisis bagaimana pendekatan ini dapat membantu masyarakat melampaui agitasi politik yang sering menjadi penghalang kemajuan sosial.
Akar Historis Resolusi Konflik
Praktik resolusi konflik dapat ditelusuri kembali ke peradaban awal manusia. Di Mesopotamia kuno, para penguasa sering bertindak sebagai mediator dalam sengketa antar kelompok. Catatan sejarah menunjukkan bahwa Hammurabi dari Babilonia (sekitar 1792-1750 SM) tidak hanya terkenal dengan kodifikasi hukumnya tetapi juga sebagai penengah konflik antarsuku.
Pada era Yunani kuno, filsuf seperti Aristoteles mengembangkan konsep keadilan dan keseimbangan sebagai dasar penyelesaian sengketa. Dalam "Nicomachean Ethics", Aristoteles menekankan pentingnya pencarian titik tengah (golden mean) sebagai cara mengatasi pertentangan. Sementara itu, tradisi Konfusianisme di Tiongkok mendorong harmoni sosial dan penyelesaian konflik melalui dialog dan saling pengertian, bukan dengan konfrontasi.
Perkembangan Modern Teori Resolusi Konflik
Studi akademis formal tentang resolusi konflik mulai berkembang pada pertengahan abad ke-20, sebagai respons terhadap trauma Perang Dunia II dan ancaman perang nuklir selama Perang Dingin. Pada tahun 1957, Kenneth Boulding, Anatol Rapoport, dan rekan-rekan mereka mendirikan Journal of Conflict Resolution, menandai dimulainya pendekatan sistematis terhadap studi konflik dan penyelesaiannya.
Johan Galtung, seorang sosiolog Norwegia yang sering disebut sebagai "bapak studi perdamaian", memperkenalkan konsep "perdamaian positif" pada tahun 1964. Berbeda dengan "perdamaian negatif" yang hanya berarti absennya kekerasan, perdamaian positif mencakup keadilan sosial, kesetaraan, dan penghilangan kekerasan struktural.
Pada tahun 1970-an dan 1980-an, teori resolusi konflik diperkaya oleh kontribusi Roger Fisher dan William Ury dari Harvard Negotiation Project. Buku mereka "Getting to Yes" (1981) memperkenalkan konsep "negosiasi berbasis prinsip", yang menekankan pencarian kepentingan bersama di balik posisi yang bertentangan.
Metodologi Resolusi Konflik Modern
Resolusi konflik modern menggabungkan berbagai pendekatan, termasuk :
- Mediasi: Proses di mana pihak ketiga yang netral memfasilitasi komunikasi dan negosiasi antara pihak-pihak yang bertikai.
- Arbitrasi: Proses di mana pihak ketiga diberi wewenang untuk membuat keputusan yang mengikat.
- Negosiasi: Proses di mana pihak-pihak yang berkonflik langsung berinteraksi untuk mencapai kesepakatan.
- Fasilitasi dialog: Menciptakan ruang aman untuk dialog terbuka dan jujur antara kelompok-kelompok yang berseberangan.
- Diplomasi multi-jalur: Melibatkan berbagai aktor, dari pejabat pemerintah hingga organisasi masyarakat sipil, dalam proses perdamaian.
Menurut John Paul Lederach, pakar resolusi konflik terkemuka, transformasi konflik yang berkelanjutan memerlukan perubahan pada empat dimensi: pribadi, relasional, struktural, dan kultural.
Melampaui Agitasi Politik
Dalam lanskap politik kontemporer yang sering ditandai oleh polarisasi ekstrem, resolusi konflik menawarkan jalan keluar yang konstruktif. Berbeda dengan agitasi politik yang cenderung mempertajam perbedaan untuk keuntungan jangka pendek, resolusi konflik berusaha menemukan kepentingan bersama dan nilai-nilai yang dapat menjembatani perbedaan.
Studi yang dilakukan oleh Pew Research Center pada tahun 2022 menunjukkan bahwa polarisasi politik telah mencapai tingkat yang mengkhawatirkan di banyak negara demokrasi. Dalam situasi seperti ini, pendekatan resolusi konflik yang menekankan pengakuan terhadap kemanusiaan semua pihak menjadi sangat penting.
Contoh keberhasilan pendekatan ini dapat dilihat dalam proses perdamaian di Afrika Selatan pasca-apartheid. Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi yang dipimpin oleh Uskup Desmond Tutu mendemonstrasikan bagaimana pengakuan terhadap penderitaan masa lalu dapat membuka jalan menuju rekonsiliasi nasional, melampaui retorika politik yang memecah belah.
Studi Kasus : Inisiatif Dialog Nasional di Tunisia.
Salah satu contoh kontemporer yang mengesankan adalah peran Kuartet Dialog Nasional Tunisia, yang memenangkan Hadiah Nobel Perdamaian pada tahun 2015. Di tengah krisis politik yang mengancam akan mengarah pada kekerasan sektarian, empat organisasi masyarakat sipil memfasilitasi dialog nasional yang inklusif. Proses ini berhasil menghasilkan konstitusi baru dan transisi damai menuju demokrasi, menunjukkan kekuatan dialog dan resolusi konflik dalam mengatasi polarisasi politik.
Meskipun memiliki potensi besar, resolusi konflik menghadapi tantangan signifikan dalam era informasi digital. Media sosial dan algoritma yang menciptakan "ruang gema" (echo chambers) cenderung memperkuat pandangan yang sudah ada dan mempersulit dialog lintas perbedaan. Menurut penelitian dari MIT Media Lab, berita palsu menyebar enam kali lebih cepat daripada berita benar di platform seperti Twitter, memperburuk polarisasi.
Untuk mengatasi tantangan ini, praktisi resolusi konflik modern seperti Donna Hicks dari Harvard University mengembangkan pendekatan berbasis martabat (dignity-based approach). Pendekatan ini menekankan pentingnya pengakuan terhadap martabat inheren semua pihak sebagai langkah pertama menuju dialog yang bermakna.
Resolusi konflik menawarkan kerangka kerja dan metodologi yang telah teruji untuk mengatasi perpecahan sosial dan politik. Dengan memahami sejarah panjang dan perkembangan bidang ini, kita dapat menerapkan pelajaran berharga untuk mengatasi polarisasi kontemporer. Melampaui agitasi politik berarti mengakui kompleksitas manusia, mencari titik temu, dan membangun jembatan pemahaman antar kelompok yang berbeda.
Dalam masyarakat yang semakin terpolarisasi, pendekatan resolusi konflik yang menekankan dialog, pengakuan martabat bersama, dan pencarian solusi yang saling menguntungkan menjadi semakin penting. Dengan menggabungkan kebijaksanaan dari tradisi kuno dan wawasan dari penelitian kontemporer, kita dapat mengembangkan cara-cara baru untuk hidup bersama di tengah perbedaan.

Penulis Indonesiana
5 Pengikut
Artikel Terpopuler